Profil

Liza Marielly Djaprie, Terus Berkarya dan Bermanfaat bagi Banyak Orang

MajalahKebaya.com, Jakarta – Komitmen kuat Liza Marielly Djaprie dalam menjalankan karier di bidang Psikologi tak lepas dari harapannya untuk lebih banyak membantu dan menolong masyarakat dalam hal kesehatan mental.

Pencapaian karier Liza Marielly Djaprie sebagai Psikolog Klinis Dewasa melalui proses panjang yang tak lepas dari dukungan orang-orang terkasih. Kedua orang tua tercinta menjadi sumber panutan dan inspirasi utama. Bagi Liza, sosok orang tua membawa dampak luar biasa pada anak-anak.

“Papa dan Mama menjadi panutan saya dan selalu membawa dampak luar biasa pada anak-anaknya. Dari Papa Mama saya banyak belajar tidak hanya tentang kehidupan namun juga tentang hubungan suami istri. Bagaimana saling menyayangi, saling mendukung, saling mendampingi dan saling menjaga.”

Selain kedua orang tua, suami tercinta, Muhammad Arief Budiman, seorang pebisnis dan politikus, tidak pernah berhenti mendukung Liza dengan penuh tanggung jawab. Liza bersyukur suaminya selalu ada untuk dirinya yang tidak bisa diam. Suami juga selalu bersikap terbuka, legowo dengan segala cerita masa lalu.

“Suami selalu mendukung penuh diri saya yang tidak bosan mengaktualisasi diri, selalu sigap menjadi partner luar biasa dalam berpasangan serta mendidik anak dan bertanggung jawab. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, namanya hubungan jika tidak pernah ada konflik justru tidak akan pernah berkembang, Suami menjadi pendukung terbaik di kehidupan saya untuk selalu menjadi wanita yang lebih baik,” jelas Liza yang menyandang gelar Pascasarjana Profesi Psikologi Klinis Dewasa, Sertifikasi Hipnoterapi Klinis, Sertifikasi Life Coach, Sertifikasi Grafologi (Ilmu Tulisan Tangan) dan Sertifikasi Behavior Analyst.

Karier dan Reputasi

Ibu dari 4 orang anak, 3 laki-laki dan 1 perempuan, usia 21 tahun, 15 tahun, 11 tahun serta 9 tahun ini, memulai perjalanan karier setelah lulus S2 Profesi Klinis Dewasa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2005. Liza pun langsung berpraktik sebagai seorang Psikolog Klinis di RSK Jiwa Dharmawangsa, Mental Health Clinic di daerah Jakarta Selatan.

Selain di RSK Jiwa Dharmawangsa, Liza yang juga seorang praktisi Hipnoterapi serta Life Coach, berpraktik di RS Mitra Keluarga Bintaro. Ia juga aktif menjadi pembicara serta trainer di beberapa kegiatan bertema psikologis.

Semasa pandemi Liza aktif bergerak bersama Satgas Covid serta Satgas Perubahan Perilaku dalam mengedukasi masyarakat Indonesia berkaitan dengan kesehatan mental, selaku penunjang vital kesehatan individu secara umum.

Liza juga pernah dipercaya menjadi Pendamping Psikologis serta Saksi Ahli untuk Bharada Richard Eliezer dalam kasus hukum melawan Jenderal Ferdy Sambo, dan Pendamping Psikologis serta Saksi Ahli untuk AKBP Dody Prawiranegara dalam kasus hukum melawan Jenderal Teddy Minahasa. Liza adalah salah satu dari sedikit sekali Psikolog Klinis yang dipercaya mendampingi kasus pidana peradilan.

Menjelang akhir tahun 2023, tepatnya akhir November, Liza juga diminta membantu menangani kasus yang dialami salah satu karyawan BNI di Surabaya. “Jadi ada karyawan BNI di daerah Jawa Timur yang membantu persetujuan pengeluaran pinjaman dalam jumlah yang sangat besar, tapi ternyata itu bodong. Sebenarnya  karyawan BNI ini amat sangat polos. Pengacaranya meminta ada Psikolog Klinis untuk mendampingi dan melakukan assessment sehingga bisa diuraikan secara lengkap profil psikologis sang karyawan untuk membuktikan tidak ada niat jahat sama sekali dan pada faktanya memang tidak ada sepeser pun uang yang dia terima dari transaksi tersebut, dia hanya tidak tahu jika kemungkinan besar dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu,” jelas Dewan Komsaris Citta Center ini.

Dengan kasus tersebut, Liza merupakan Psikolog Klinis pertama dan menjadi pelopor di bidang tipikor. “Ini baru pertama kali kasus di Pengadilan Tipikor membawa Psikolog Klinis karena dalam sejarah belum pernah ada, jadi jelang akhir tahun 2023, saya diberi berkah kesempatan jadi Pelopor Psikolog Klinis yang terlibat dalam kasus tipikor,” bangga Liza, yang juga tergabung dalam Koalisi Kependudukan Indonesia, sebagai Ketua Komisi Kesehatan Mental Keluarga.

Hal yang juga menjadi reputasi membanggakan bagi Liza, ketika pada pertengahan tahun 2023, ia juga memecahkan rekor karier personalnya dengan mengajar di depan kurang lebih 4.000 mahasiswa UPN Veteran Jakarta di Tennis Indoor Senayan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain seperti Prabowo Subianto, dr. Lula Kamala, Deddy Corbuzier, dll. Acara tersebut dalam rangka pembukaan tahun ajaran baru sekaligus penerimaan mahasiswa baru.

Tanamkan Jiwa Sosial pada Anak

Kelahiran Jakarta, 10 November ini, sudah merasakan posisi terbaik untuk karier dan hidupnya, ia tinggal menjalani sepenuh hati. Selain itu, Liza berusaha untuk tidak menutup mata pada keadaan dengan berbagi dan aktif melaksanakan kegiatan sosial.

“Ada banyak cara untuk saya melakukan kegiatan sosial. Terkadang spontan secara pribadi dan anak-anak saya perkenalkan anytime. Baik di jalan ketemu orang yang membutuhkan, saya akan mengajari anak untuk berempati. Saya juga suka membuat acara sosial dengan melibatkan anak-anak.”

Posisi Liza sebagai seorang istri dan ibu yang hampir sejak satu dekade lalu membina keluarga campur, paham betul bahwa keluarga tidak hanya yang sedarah sekandung. Namun ia bersama-sama suami dan 4 anaknya belajar bahwa kelekatan emosional yang erat dapat dipupuk dari kebersamaan untuk menumbuhkan respect dan rasa saling menyayangi.

Resolusi dan Harapan di 2024

Liza pun memiliki beberapa resolusi di tahun 2024, yang pertama ia ingin segera menerbitkan buku mengenai perjalanan kehidupannya. Sebelum menikah dengan suaminya sekarang, Liza pernah menikah dan memiliki anak, begitu pun dengan suaminya saat ini.  “Sekarang saya dan suami punya 4 anak yang disebut 4 sulung karena dari beda ayah dan beda ibu. Jadi anakku yang pertama dari pernikahanku yang pertama dengan suami dan kemudian cerai, kemudian anak yang kedua dari suamiku yang sekarang, dia menikah dan bercerai. Anak yang ketiga itu dari pernikahanku sama suami yang meninggal dan anak yang terakhir itu saya menikah dengan yang suami sekarang, makanya disebut 4 sulung,” jelas ibu dari Taqi Hammam Ariza, Muhammad Raffi Aryadhiaputra, Keeva Dipankara Awaza dan Zene Pasifica Arieza ini.

Dalam buku yang pertama, Liza banyak bercerita tentang transformasi seorang Liza dari dulu hingga sekarang. Sedangkan dalam buku kedua kelak, InsyaAllah ia ingin mengupas bagaimana mengasuh dan menyatukan anak-anak dengan beragam latar belakang cerita keluarga yang berbeda, tantangannya seperti apa, dan bagaimana kerja sama dengan suami dalam proses pengasuhan penuh tantangan tersebut, sehingga bisa mewujudkan keluarga yang harmonis. “Nanti juga akan menyusul, kalau saya diberikan kesempatan, ingin bercerita soal duka waktu suami meninggal saat saya lagi hamil waktu itu 7 bulan,” paparnya semangat.

Resolusi Liza yang utama untuk dirinya dan keluarganya tercinta adalah diberikan umur yang panjang, sehat dan produktif, terus berkarya, dilimpahi keberkahan dan kebahagiaan. “Kalau dari sisi profesional saya berharap semakin lebih banyak berkarya di bidang Psikolog untuk membantu banyak orang, melebarkan sayap karier saya sehingga bisa lebih banyak membantu dan menolong dalam hal kesehatan mental. Kita perlu untuk menjaga kesehatan mental kita dan harus mulai ada edukasi berkaitan dengan kesehatan mental. Kedua, saya bisa berbagi dari buku-buku yang saya terbitkan bahwa kita hidup tidak mungkin hanya sekadar hidup. Kita bisa produktif dan bahagia, yang pasti kita bisa sehat mental,” harapnya.

Menjadi Orang Tua Bijak dan Cerdas di Era Digital

Liza menilai di era digital ini para perempuan juga harus belajar segala hal yang berkaitan dengan dunia digital. “Perempuan itu harus mau belajar mengikuti perkembangan zaman termasuk digital. Saya juga kerap upload postingan di media sosial yang berkaitan dengan edukasi psikologi dan lainnya. Saya ingin berbagi pengetahuan yang berguna bagi masyarakat,” ujarnya.

Menurut Liza, kita jangan takut untuk belajar hal-hal baru di dunia digital, apalagi banyak manfaat yang diperoleh. ‘Memang kekurangannya adalah kalau misalnya kita lebih banyak menggunakan gadget tentu waktu kita menjadi lebih terbatas untuk berkarier, untuk keluarga, suami, anak. Tapi kalau kita manfaatkan untuk meningkatkan keeratan hubungan keluarga kenapa tidak,” terangnya bijak.

Dalam penggunaan gadget, Liza menerapkan aturan bagi anak-anaknya untuk tidak memiliki handphone sampai lulus sekolah dasar. Setelah lulus SD, anak-anak baru diberikan gadget tablet. “Mereka juga hanya boleh main dengan gadget pada Sabtu dan Minggu setelah selesai mengaji. Setelah mereka selesai makan malam pada hari Minggu sudah tidak boleh main handphone lagi karena persiapan untuk sekolah esok harinya,” jelasnya.

Selain itu anak-anak Liza juga tidak diperbolehkan punya akun di media sosial sampai mereka lulus SD. Kalau pun ada akun medsos itu dibuat oleh Liza. Dasarnya secara psikologis sebenarnya diharapkan setelah umur 12 tahun baru mulai ada daya analisa pada anak mengenai mana yang baik dan mana yang buruk.

“Sebagai orang tua kami mencoba untuk menanamkan dulu akar yang kokoh, menjalin komunikasi yang baik sehingga mereka bisa selalu ngobrol dengan kita itu seperti apa, pakai gadget seperti apa, digital life seperti apa. Nah setelah lulus SD anak-anak sudah boleh punya handphone. Namun ibaratnya masa percobaan, peraturannya sepanjang anak-anak SMP password handphone harus diketahui oleh orang tua, dan mereka harus siap sewaktu-waktu kami ingin mengecek isi handphone atau gadget tersebut. Ini merupakan kesepakatan bersama, dan selama ini Alhamdulillah menjelang akhir SMP anak-anak sudah mulai paham bagaimana menggunakan gadget dan medsos secara bijak,” paparnya.

Di era digital saat ini, Liza juga mengingatkan para orang tua dalam mendidik anak-anaknya yang merupakan  generasi Z supaya tidak salah arah. “Kalau saya yang jelas adalah I have to be my kids best friend, jadi saya selalu memulai percakapan dari hal-hal yang kecil di mana mereka bebas untuk menceritakan apa pun yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, lalu saya mencoba untuk mendengarkan dulu dan tidak terburu-buru menghakimi anak,” jelasnya.

Pelajaran paling penting bagi orang tua selain mendengarkan adalah membuka komunikasi secara terbuka dengan anak. Orang tua harus mencoba berekspresi tenang dan tidak panik  saat anak bercerita hal yang belum pantas untuk usianya, misalnya mengenai konten dewasa yang dilihatnya di  internet. “Ketika kita  tenang ternyata anak lebih bisa bercerita secara terbuka kepada orang tua. Open discussion itu penting banget, bicara saja apa adanya dengan anak, dan sebagai orang tua harus belajar untuk mengelola emosi untuk tetap tenang dan membuka komunikasi secara terbuka dengan anak,” jelasnya.

Keseimbangan dalam membagi waktu antara keluarga dan karier bagi Liza sangat penting. Karena sebagai seorang ibu, tidak hanya fokus pada keluarga saja, tapi sebenarnya ia juga berhak untuk mengembangkan diri seperti ikut kursus-kursus, seminar, pelatihan, bersosialisasi, menyalurkan hobi, menjalankan usaha, mengeksplor semua potensi dalam diri sambil tetap menjadi seorang ibu dalam rumah tangga. Liza pun selalu berkomunikasi dan bekerja sama dengan suami maupun asisten di rumahnya. Ia bersyukur asisten di rumah bisa dipercaya dan memahami ritme aktivitas keluarga khususnya keempat anaknya. Mereka sudah bekerja selama 15 tahun bahkan ada yang sampai 20 tahun.

“Saya juga membuat prioritas, sebagai contoh katakan terkadang bulan Desember itu penuh dengan jadwal akhir tahun anak-anak, ada acara pentas dan sebagainya. Mau tidak mau saya kurangi jadwal praktik jika ada kegiatan anak yang cukup penting,” tambahnya ramah. EK

Motivasi Orang Tua Membentuk Pribadi yang Mandiri dan Dewasa

Bagi Liza, Papa dan Mama  merupakan orang yang paling berjasa dan berpengaruh dalam perjalanan hidupnya. Liza mengungkapkan bahwa ia sering berargumen atau berantem kecil dengan ayahnya. Namun itu tidak mengurangi rasa cinta dan pengalaman belajar dari Sang Ayah. Kedekatan yang terjalin erat dan ikatan emosional yang tak tergantikan membuat ia bersyukur dibesarkan dan didampingi oleh kedua orang tuanya.

“Sampai sekarang Papa Mama masih ada dan Alhamdulillah sehat luar biasa. Kita selalu coba rutin setiap bulan memberi sedikit yang dirasa mampu, walaupun mungkin tidak ada artinya untuk Papa Mama. Karena Alhamdulillah mereka berkecukupan, tapi kita sekeluarga suka bercanda ngasih ini itu, nanti tiba-tiba Papa dan Mama kirim foto lagi makan di Soto Kudus Blok M dan pamer ini uang jajan dari Liza lho. Kalau kaya gini saya suka terharu karena menjadi anak yang dihargai oleh orang tuanya.”

Masa kecil penuh warna dan kenangan yang tak akan pernah terlupakan bersama kedua orang tua menjadi motivasi dalam membentuk karakter kepribadian Liza menjadi sosok perempuan yang tidak hanya mandiri dan kuat, namun juga fleksibel, tumbuh dewasa dengan pengalaman dari kedua orang tua yang penuh perjuangan.

Ayahnya berasal dari Belitung, bagian pelosok, sembilan bersaudara dan dari keluarga dengan perekonomian menengah ke bawah. Ayahnya anak keempat, tetapi merupakan laki-laki pertama, sehingga rasa tanggung jawab telah tertanam kuat di dalam diri Sang Ayah.

“Papa saya berasal dari keluarga sederhana. Sebelum sekolah beliau harus berjualan manggis naik sepeda dengan jarak seperti Jakarta ke Bogor. Jadi memang keras sekali. Setelah lulus SMA, beliau masuk kuliah dan pindah ke Jakarta lalu mendaftar ke Universitas Indonesia. Waktu itu Papa hanya membawa tiga potong baju, sebuah Rekal Alquran, dan uang dalam jumlah yang sangat terbatas. Sampai sini uang habis, lalu Papa pergi ke keluarga salah seorang pejabat yang cukup dikenal saat itu, karena memang keluarga Papa bertetanggaan dengan pejabat tersebut.”

Ayah Liza rela bekerja serabutan di keluarga pejabat tersebut, demi bisa mendapatkan pinjaman dana dan bertekad sukses untuk membantu keluarga di kampung. Kerja keras yang tidak mudah, namun di tengah perjuangan yang menguras tenaga, ayahnya bertemu perempuan yang dicintainya.

“Mama itu anak satu-satunya perempuan. Beliau menikah dengan Papa dengan cara kawin lari. Mama mualaf diajak Papa. Mama sempat kabur dari rumah. Akhirnya punya anak. Papa didikannya keras sekali kepada anak-anaknya, tapi sekarang saya paham manfaatnya. Beliau punya tuntutan untuk anak-anak agar bisa sukses. Intinya jangan menyusahkan orang dan jangan membuat malu. Saya anak kedua, kakak cowok dan adik cewek selalu memegang teguh prinsip Papa sampai sekarang.”

Berkat didikan Ayah yang keras dan tegas, kakak dan adik Liza berhasil menjadi Dokter Spesialis. Abangnya berprofesi sebagai Dokter Bedah Urologi dan adiknya sebagai Dokter Bedah Plastik.

“Abang saya waktu lulus Fakultas Kedokteran harus mengambil profesi. Dia ditawari di Farmasi dengan gaji yang tinggi. Papa bersikeras jika masuk ke Fakulktas Kedokteran untuk menjadi Dokter, bukan berjualan obat. Jadi selesaikan sampai terakhir, jangan karena ada godaan uang.”

Dari pengalaman tersebut, Liza yang gemar membaca, menonton, travelling dan olahraga ini belajar untuk tumbuh berkomitmen mengembangkan bidang pekerjaan masing-masing. Abang dan adiknya berkomitmen menjadi Dokter. Sedangkan Liza berkomitmen menjadi seorang Psikolog yang ilmunya dapat bermanfaat bagi orang lain.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top